Dunia yang Menyempit
Tangerang Selatan, 15 Juli 2020
Bertempat tinggal di Tangerang Selatan, namun menempuh pendidikan tingkat sma di Jakarta. Orang tua aku selalu mengantar saya dari rumah menuju ke stasiun setiap jam 5 dengan adzan subuh menjadi alarm bangun tidur aku, naik kereta yang paling pagi, lalu naik ojek online dari stasiun menuju sekolah. Kata “buset” kemungkinan besar menjadi kata pertama yang dilontarkan kalian para pembaca setelah membaca kalimat tadi. Wajar, jarak rumah ke sekolah berkisar 30 kilometer, naik mobil auto telat, naik motor ngeri kecelakaan.
Sekolah aku berada di pusat kota Jakarta. Seringkali ojek online aku terjebak macet di jalan raya. Ojek online biasanya berinisiatif mengambil jalan tikus dan saya fine fine saja dengan itu. Tapi aku tidak fine kalau jalan tikus juga macet, namun itu justru sering terjadi. “buset, orang di Jakarta banyak beud dah”, ocehan sejuta umat termasuk saya. Kalau sudah bener bener kesel karena jalanan macet, aku sering berharap Thanos benar benar datang dan menlenyapkan 1/2 populasi di dunia. Ini dunia yang menyempit atau manusia yang semakin banyak?
Pertanyaan tadi sering muncul di kepalaku. Namun, kita semua sudah tahu bahwa dunia tidak mungkin menyempit, sehingga jawabannya sudah pasti manusia yang semakin banyak.
Berdasarkan data yang aku dapatkan dari obengplus.com, pada tahun 2017 Indonesia menempati peringkat 4 negara dengan penduduk terbanyak di bumi, dengan laju perubahan 1.12%. Angka ini dibilang cukup besar dibandingkan negara negara maju, seperti Amerika Serikat, Jerman, Jepang Prancis, dan lainnya. Kita bisa melihat ada beberapa negara yang bakan laju perubahan penduduknya negatif, alias jumlah penduduknya berkurang.
Jumlah penduduk yang banyak memungkinkan Indonesia menjadi salah satu kekuatan ekonomi dunia. Banyak orang membicrakan bonus demografi.Namun, aku ingin mencoba melihatnya dari sudut pandang yang lain karena kita membicarakan tentang satu negara, ekonomi bukanlah satu satunya aspek yang ditinjau. Kita juga harus meninjau dari bidang yang lain, seperti kesejahteraan rakyat ,ketersediaan lapangan pekerjaan, dan produktivitas pangan. Seperti pedang bermata dua, jumlah penduduk yang banyak berpotensi berdampak negatif, seperti penggundulan hutan untuk pembukaan lahan yang sudah terlalu sempit,kemiskinan, pengangguran, dan kelaparan. Lah kenapa kelaparan muncul? Thomas Robert Malthus pernah mengatakan bahwa pertumbuhan penduduk itu seperti deret ukur (1, 2, 4, 8, 16, 32,…) dan pertumbuhan pangan seperti deret hitung (1, 2, 3, 4, 5,…). Jika ada suatu peradaban manusia yang berkecukupan pangannya, maka akan ada suatu titik, misalkan x, dimana tingkat kebutuhan pangan lebih tinggi daripada tingkat produksi pangan, yang akan membawa peradaban tersebut menuju kelaparan.
Padatnya populasi bersifat Volatile karena tidak dapat diprediksi pertambahan penduduk setiap harinya. Permasalahan ini juga bersifat Complex karena berkaitan dengan banyak pihak, seperti pemerintah, tenaga medis, pegawai negeri dan seluruh lapisan masyarakat. Padatnya populasi juga bersifat Uncertain, kita tidak tahu kapan ini akan selesai. Namun, permasalahan ini sudah pasti kita hadapi dan sudah jelas penyebab utamanya, yaitu karena manusia itu sendiri.
Lalu, kita sebagai mahasiswa harus ngapain? Kita memang belum menikah (tapi akan ), bahkan bagi aku pribadi belum ada rencana menikah hahaha. namun, kita sebagai mahasiswa bisa membantu program pemerintah, seperti program Keluarga Berencana, dengan mensosialisasikannya ke masyarakat sebagai bentuk pengabdian masyarakat.
Dunia kita tidak menyempit, hanyalah kita yang semakin banyak.